Sekolah Daring Pasca Pandemi: Cukup Sampai di Sini atau Jalan Masih Terbentang?

Tulisan dibuat dalam rangka tugas akhir mata kuliah Seni Berpikir Bisnis, program Magister Manajemen Eksekutif, Batch 70, PPM School of Management.


Causal Loop Diagram:
Sekolah Daring Pasca Pandemi


Seorang bocah lelaki baru terbangun dari lelapnya. Kuapan dan air mata menyembul sedikit dari sudut mata kecilnya. Masih mengantuk rupanya, akan tetapi waktu menunjukkan sebentar lagi pukul 07.00 pagi. Di hari Senin pagi seperti ini, tentu tak boleh sedetik pun ia bersantai jika tak mau terlambat sekolah. Maka beranjaklah si Buyung dari buaian menuju kamar mandi. Dilanjutkan dengan bersiap mengenakan seragam putih merah yang sudah disetrika licin oleh ibunya dan kemudian mengudap roti tawar dan susu hangat sebagai menu sarapan.

Lalu, mengapa setelahnya ia tak bergegas menuju kendaraan yang tengah terparkir di halaman? Tidak nampak pula mobil antar jemput yang menanti diwarnai klakson dari sang supir. Pun demikian dengan ojek online, kendaraan umum, maupun sepeda mungil yang ia biasa pacu tiap sore berkeliling kompleks. Kemana kah ia hendak melanjutkan langkahnya setelah bersolek sedemikian rapi? Rupanya kembali ke dalam kamar dan menyalakan gawainya di atas meja belajar. Tidak berangkat ke sekolah kah ia?

Kala pandemi menerpa tanah air pada bulan Maret 2020 silam, pemandangan semacam ini menjadi keseharian bagi sebagian besar anak-anak Indonesia yang duduk di bangku sekolah, khususnya di wilayah yang terdampak virus Covid-19. Mulai dari jenjang paling kecil, yakni Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga jenjang paling tinggi, Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Derap langkah kaki yang biasanya terdengar bergegas masuk ke pelataran sekolah, maupun suara canda tawa di lorong sekolah menjelang bel berdering, dalam sekejap berubah menjadi suara dentingan gawai pertanda siswa telah bergabung di aplikasi belajar yang digunakan sekolah untuk menunjang kegiatan belajar mengajar (KBM).

Angka penularan virus Covid-19 yang menanjak naik, memaksa Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu belum bergabung dengan Ristek dan Dikti) memutuskan bahwa sekolah tak bisa lagi berjalan. Bukan berarti kegiatannya berhenti total, melainkan KBM yang sejatinya mengharuskan para siswa hadir di sekolah secara langsung, dimodifikasi sedemikian rupa agar siswa tetap bisa mengikuti pembelajaran dengan raga tetap berada di dalam rumah agar lebih aman. Kalang kabutlah dunia pendidikan se-Indonesia Raya. Perubahan yang biasanya diharapkan datang bertahap, perlahan-lahan, mendadak harus diubah dalam waktu semalam. Bak Bandung Bondowoso ketika diberi tugas mendirikan seribu candi oleh Loro Jonggrang.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang lebih akrab dengan sebutan sekolah dalam jaringan (daring) – selanjutnya disebut sekolah daring, diresmikan pada 16 Maret 2020. Bagi sekolah-sekolah yang memiliki civitas akademika, stakeholder, maupun pangsa pasar kelas sosial ekonomi menengah ke atas, tentu perubahan serba cepat ini dapat segera diatasi dengan dukungan teknologi yang mumpuni. Di sekolah-sekolah unggulan dan berlabel nasional plus (kini disebut SPK atau satuan pendidikan kerjasama), teknologi adalah makanan sehari-hari. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 hadir di tengah kehidupan, teknologi sudah mewarnai KBM. Bukanlah hal yang asing bagi guru untuk mengoperasikan berbagai aplikasi yang mampu mendukung KBM meski para siswanya tak nyata di depan mata. Sebut saja Google Classroom, Zoom, Quizizz, EduCandy, Kahoot, Canva, dan masih banyak lagi.

Demikian pula dengan para siswa yang pada umumnya tak memiliki masalah dengan ketersediaan gawai, kuota internet, maupun pemahaman terhadap aplikasi untuk mendukung kegiatan belajar. Bahkan tak jarang, siswa lebih piawai dan instan dalam penguasaan teknologi dibandingkan guru-gurunya. Problematika yang terjadi biasanya seputar rasa jenuh dan motivasi karena terkungkung dalam rumah dan tidak bisa pergi ke sekolah seperti biasa. Hanya dalam hitungan bulan, sekolah-sekolah macam ini pun sudah mantap menyelenggarakan sistem sekolah daring di tahun ajaran berikutnya yang dimulai pada bulan Juli 2020.

Lantas, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang tak bisa mencicipi kenikmatan macam itu? Tak perlu jauh-jauh berbicara soal sekolah yang ada di pedalaman, daerah terpencil, maupun wilayah terluar Indonesia. Coba tengok sekolah di sekitar ibukota negara, yang hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan negara. Berbagai isu sekolah daring bermunculan di sana-sini, seperti misalnya kurangnya penguasaan guru terhadap teknologi, guru kehabisan ide untuk pembelajaran kreatif, sarana dan prasarana sekolah yang tak menunjang daring, ketersediaan gawai dan kuota para siswa, pelajaran tak dapat diserap dengan baik oleh siswa, hingga pemahaman orang tua terhadap pentingnya sekolah meskipun berbentuk daring.

Sekolah-sekolah yang lelah dengan dampak pandemi ini pun berteriak kepada Mas Menteri agar sekolah diizinkan kembali dibuka seperti sedia kala. Namun melihat angka Covid-19 yang terus merangkak naik, keinginan itu pun terlihat mustahil. Tahun ajaran 2020/2021 pada akhirnya dijalani penuh secara daring oleh sebagian besar sekolah di Indonesia yang wilayahnya terdampak Covid-19, khususnya di pulau Jawa.

Kini, satu tahun lebih sudah sekolah daring bergulir. Tahun ajaran baru 2021/2022 telah dimulai. Terlepas dari segala polemik yang bermunculan di awal kebijakan PJJ, rupanya tak sedikit kalangan yang pada akhirnya justru menikmati suasana belajar demikian. Usai mengalami proses adaptasi selama satu tahun ajaran penuh dengan bersekolah daring, sekolah-sekolah unggulan dan berlabel nasional plus tadi telah nyaman mengiklankan diri sebagai tempat terbaik untuk belajar pada masa pandemi. Kegiatan sekolah tak hanya KBM, melainkan juga diselingi dengan deretan webinar dengan pembicara-pembicara handal guna memperkaya wawasan dan life skill para siswa juga guru-gurunya. Tak tanggung-tanggung, pembicara webinar kerap kali didatangkan langsung dari luar negeri tanpa harus merogoh kocek berlebih. Seolah dunia hanya berada di depan layar komputer. Sebuah hal yang jarang sekali dilakukan sebelum pandemi.

Tidak hanya itu, sekolah-sekolah yang memiliki konsep daring penuh pun mulai menjamur sebagai jawaban atas keresahan orang tua yang merasa sekolah tempat anak-anak mereka berada sekarang cenderung tak siap menghadapi KBM yang dipaksa berubah akibat pandemi. Belum lagi mereka juga tetap membayar uang sekolah penuh meski anak-anaknya tak pernah selangkah pun keluar dari rumah. Sekolah-sekolah ini juga mengiming-imingi keberlanjutan melalui berbagai program pembelajaran menarik dan inovatif meski kelak pandemi telah usai.

Bentuk kenyamanan lainnya tercermin dari waktu yang tak habis di jalan karena terpakai untuk berangkat dan pulang sekolah, sehingga anak-anak kini memiliki waktu senggang lebih banyak dan dapat digunakan pula untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat atau sekadar beristirahat. Anak-anak juga lebih mudah dipantau oleh orang tua dan kedekatan dalam keluarga pun dapat terjalin lebih erat.

Fenomena semacam ini cukup menggelitik karena mengundang tanya, bagaimanakah wajah sekolah ketika angka Covid-19 berangsur turun dan pandemi akhirnya sampai pada penghabisan? Apalagi di penghujung Agustus 2021, Mas Menteri sudah mulai menginstruksikan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sebagian, diawali dari sekolah-sekolah di DKI Jakarta. Mungkinkah sekolah langsung berbalik kembali ke wujud semula atau daring masih akan terus bertahan sebagai bentuk KBM di masa mendatang?

Menelaah isu ini, tentu berbagai pro dan kontra di kalangan dunia pendidikan perlu ditelusuri. Banyak pakar mulai menimbang-nimbang keunggulan sekolah daring. Menurut Sri Wahyuningsih, Direktur Sekolah Dasar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah daring memiliki sisi positif karena membuat para guru melek akan digitalisasi dan memahami pentingnya literasi digital dan teknologi.

Sekolah daring menyebabkan para guru untuk siap dalam hal literasi digital agar tetap mampu menyampaikan materi kepada siswa meski ruang kelas harus berganti layar komputer. Guru yang melek teknologi tentu akan lebih mudah menyampaikan materi pelajarannya dengan kreatif, misalnya dengan permainan edukatif di Quizizz, membuat video pembelajaran sederhana menggunakan Video Scribe, tayangan presentasi warna-warni dengan Canva, atau menyampaikan materi secara audio menggunakan Podcast. Semakin siap guru terhadap konsep sekolah daring, maka semakin kreatif pula lah metode pengajaran yang ia berikan kepada anak-anak didiknya. Guru kreatif ini pada akhirnya mampu menyebabkan kualitas pembelajaran tetap terjaga dengan baik sehingga sekolah daring pun dapat terus berjalan tanpa hambatan berarti.

Kreativitas guru pada masa pandemi ini juga dapat mencipta desain pembelajaran yang inovatif. Guru yang mampu berpikir out of the box dapat menyusun desain pembelajaran yang mutakhir dan mudah diserap para siswa. Jika siswa dapat memahami pelajaran dengan baik, ditambah nilai plus menyenangi pembelajaran yang didesain sang guru tersebut, maka kualitas pembelajaran pun juga bergerak ke arah yang baik, sehingga sekolah daring dapat bergulir tanpa masalah.

Hal ini tentu berlaku sebaliknya, jika guru tidak siap dengan hadirnya sekolah daring, maka metode pengajaran yang kreatif pun tak dapat tercipta, apalagi desain pembelajaran yang inovatif. Kondisi ini dapat menyebabkan kualitas pembelajaran pun menurun sehingga sekolah daring lebih banyak sisi negatifnya. Menurut Harris Iskandar, Widyaprada Ahli Utama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah daring memiliki berbagai dampak kurang baik jika dilakukan secara berkepanjangan, salah satunya adalah penurunan capaian pembelajaran (berkaitan dengan kualitas pembelajaran).

Selain kondisi para guru, fokus utama pendidikan dalam sekolah daring tentulah berada di tangan para siswa. Sekolah daring menyebabkan KBM pun banyak mengalami perubahan. Tak hanya perubahan secara fisik, melainkan perubahan dalam struktur kurikulum pun dilakukan oleh Kemendikbud. Di tahun ajaran 2020/2021 Kemendikbud memangkas jumlah Kompetensi Dasar (KD) yang harus disampaikan kepada peserta didik mulai dari tiga hingga tujuh puluh lima persen per mata pelajaran. Artinya, selama sekolah daring, para siswa hanya mempelajari separuh dari apa yang semestinya diterima jika sekolah berlaku tatap muka.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno, dalam sebuah wawancara dengan media massa mengatakan bahwa perbedaan antara kurikulum nasional (yang berlaku sebelum pandemi) dengan kurikulum darurat (yang berlaku pada masa pandemi) adalah dikuranginya jumlah KD. Meskipun jumlah KD berkurang, akan tetapi jabaran KD pada kurikulum darurat tetap memastikan kompetensi yang harus tercapai tetap bisa terpenuhi. Pasalnya, KD yang dipilih adalah KD yang bersifat prasyarat dan penting.

Idealnya, perubahan dalam KBM seperti ini dapat menyebabkan siswa lebih mudah menyerap dan memahami materi meskipun dengan sekolah daring banyak hal yang biasanya diperoleh siswa dengan mudah, kini harus diperoleh dengan upaya yang lebih keras. Hal ini kemudian dapat membuat kualitas pembelajaran tetap terjaga sehingga sekolah daring dapat terus berjalan dengan lancar. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan yang cukup besar dalam KBM, maka siswa pun akan bergelut dengan berbagai problema yang kemudian memengaruhi guru dan juga orang tua selama sekolah daring. Pada akhirnya, kualitas pembelajaran pun tidak akan terwujud dengan baik.

Mengacu pada analisis di atas, maka kunci yang dapat diintervensi dalam menentukan lancar atau tidaknya pelaksanaan sekolah daring terletak pada kesiapan para guru di tanah air. Jika guru melek literasi digital dan teknologi, maka guru mampu menjadi pribadi yang kreatif dan mencipta desain pembelajaran guna menjangkau anak-anak didiknya dengan baik. Selanjutnya, pembelajaran sekolah daring pun menjadi berkualitas.

Lalu, bagaimana untuk memastikan para guru melek literasi digital dan teknologi? Dalam hal ini, banyak pihak yang dapat berkolaborasi untuk mewujudkannya. Pertama, guru itu sendiri. Selayaknya para guru memperkaya wawasan guna memperkuat literasi digital dan penguasaan teknologi. Cara yang dapat ditempuh pun tak sedikit, mulai dari belajar secara otodidak dengan banyak membaca dan berselancar di dunia maya, mengikuti berbagai webinar yang tak jarang diselenggarakan secara gratis, hingga melanjutkan studi dengan program yang sesuai kebutuhan, seperti teknologi pendidikan atau manajemen pendidikan.

Kedua, dibutuhkan kolaborasi dari pihak sekolah sebagai tempat para guru bernaung sebagai akademisi. Sekolah dapat mencipta metode pembelajaran yang inovatif di mana para guru dapat belajar dan berkreasi dalam membuat KBM semakin menarik. Sekolah juga dapat menyediakan kebutuhan guru, seperti sarana dan prasarana yang menunjang teknologi serta berbagai webinar maupun workshop yang dapat meningkatkan skill guru dalam bidang digital.

Ketiga, peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga teramat penting. Sebagai lembaga tertinggi yang mengayomi dunia pendidikan di Indonesia, Kemdikbud harus mampu memastikan kurikulum yang berjalan sesuai dengan konsep sekolah daring yang kini sedang bergeser ke arah PTM terbatas atau sebagian. Guru harus diberikan ruang gerak untuk berkreasi dan tidak dibebani dengan pekerjaan administratif yang banyak menyita waktu guru di luar ruang kelas.

Jika semua elemen ini bersinergi bersama dalam mendukung kesiapan guru di bidang literasi digital dan teknologi, maka bukan tidak mungkin sekolah daring yang berjalan mulus akan menjadi salah satu opsi yang dipertahankan pasca pandemi. Meskipun tentunya tidak menjadi satu-satunya opsi. PTM dapat berjalan sebagaimana mestinya dan sekolah daring dikolaborasikan sebagai penunjang untuk memperkaya KBM dan juga wawasan siswa. Sekolah daring tentunya dapat menjangkau berbagai hal secara lebih luas, seperti misalnya mengundang narasumber dari luar untuk hadir di tengah kelas, maupun membawa para siswa berkeliling dunia hanya dengan satu ketukan di tetikus komputer.

Konsep demikian kini mulai digaungkan dengan judul blended learning, yaitu metode belajar di mana proses belajar tatap muka berpadu dengan metode daring secara harmonis. PTM dan PJJ tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga perpaduan kelebihan dan saling menutupi kekurangan di antara keduanya lah yang kemudian mendasari terbentuknya konsep blended learning ini.

Pasca pandemi, agaknya sekolah daring tak akan berhenti. Perubahan revolutif yang terjadi di dunia pendidikan selama lebih dari satu tahun ini tentu menyisakan ruang bagi sistem pembelajaran di sekolah untuk mengalami perubahan. Dari sekolah daring yang telah berjalan seperti ini dan menjadi pola kebiasaan baru, rasanya sulit membayangkan sekolah kembali seperti masa sebelum pandemi tanpa ada sisa-sisa sekolah daring. Perpaduan keduanya lebih masuk akal untuk menjadi wajah masa depan dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya dengan kesiapan guru yang melek literasi digital dan teknologi sebagai sumber utama dalam keberlangsungan pembelajaran model terbaru ini.

Maka pemandangan si Buyung yang bergegas kembali ke dalam kamar dan membuka gawai di atas meja belajarnya setelah berseragam rapi di hari Senin pun sepertinya masih akan mewarnai hari-hari setiap rumah di masa depan. Ditambah beragam desain pembelajaran super kreatif dan penuh kejutan dari para guru yang hari ini mungkin saja belum dapat terbayangkan.

 

Referensi:

Adit, Albertus. 2021. “Apa Itu Blended Learning? Simak Penjelasan Berikut Keuntungannya”, https://www.kompas.com/edu/read/2021/01/04/150233371/apa-itu-blended-learning-simak-penjelasan-berikut-keuntungannya?page=all, diakses pada 4 September 2021 pukul 23:20.

Prakoso, Erlangga Bregas. 2021. “Pakar Sebut Dampak Negatif Sekolah Daring Berkepanjangan”, https://www.antaranews.com/video/2119958/pakar-sebut-dampak-negatif-sekolah-daring-berkepanjangan, diakses pada 4 September 2021 pukul 22.15.

Saeno. 2020. “Kurikulum Darurat: Kemendikbud Kurangi Jumlah Kompetensi Dasar”, https://kabar24.bisnis.com/read/20200901/79/1285783/kurikulum-darurat-kemendikbud-kurangi-jumlah-kompetensi-dasar, diakses pada 4 September 2021 pukul 23:00.

Yasmin, Puti. 2021. “Tak Melulu Buruk, Ini Sisi Positif Pandemi untuk Pendidikan RI”, https://news.detik.com/berita/d-5371440/tak-melulu-buruk-ini-sisi-positif-pandemi-untuk-pendidikan-ri, diakses pada 4 September 2021 pukul 22:00.


Related

newsticker 5414596147684395005

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Me!

Youtube Channel

Trending

Readers

Check This Out!

item